Sejarah Pembiayaan Pendidikan di
Indonesia
Secara historis pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwah
islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator di mana ajaran Islam
dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui
pendidikan inilah masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran islam sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah.
a.
Manajemen Pendidikan Pembiayaan Islam Pada Masa
Pra-kemerdekaan
Pendidikan agama semi formal pertama yang berlangsung di
Indonesia adalah majlis ilmu yang berlansung di kerajaan samudera pasai. Sistem
pendidikan agama yang berlasung di kerajaan ini adalah sebagai berikut:
1.
Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh Madzhab
Syafi’i.
2.
Sistem pendidikannya secara nonformal berupa majlis taklim dan halaqah.
3.
Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
4.
Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.
Jadi,
pada masa kerajaan islam pasai ini, pendidikan agama dilangsungkan oleh
kerajaan dan dibiayai oleh kerajaan itu sendiri.
Berawal dari aceh, pendidikan islam terus berkembang ke
penjuru nusantara. Di jawa, diusung oleh sunan giri menitikberatkan kegiatannya
pada bidang pendidikan. Dalam hal kurikulumnya ia mengadakan kontak dengan
kerajaan pase yang bermadzhab syafi’i ketika surau-surau di sumatera terkikis
oleh sekolah-sekolah islam, tidak demikin halnya dengan pesantren-pesantren di
jawa. Meski gerakan pendidikan islam formal berlangsung deras, namun eksistensi
pesantren sebagai pendidikan islam pertama di jawa tetap survive dan eksis.
Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam tertua
di Jawa. Munculnya pesantren sekitar abad ke-15 oleh para penyebar agama Islam
di Jawa, di antaranya Wali songo. Sebagaimana halnya surau-surau di Sumatera,
pesantren awalnya juga merupakan masjid yang menjadi tempat belajar para santri
yang kemudian terintegrasi dengan asrama untuk penginapan para santri tersebut.
untuk itu setiap pondok pesantren memiliki tiga unsur minimal:
1) Kyai yang mendidik dan mengajar;
2) Santri yang belajar; dan
3) Masjid.
Pesantren pertama di Jawa diperkirakan dibangun oleh Sunan
Ampel di Surabaya. Pada tahun selajutnya pesantren telah meyebar ke penjuru tanah
Jawa.
Sebelum abad ke-18, pembiayaan pesantren dari tingkat rendah
hingga tinggi ditanggung oleh masyarakat Islam sendiri. Pembiayaan tersebut
dipungut dari uang zakat, srakah (iuran waktu pernikahan), wakaf dan palagara
(pembayaran sesuatu hajat dari penduduk desa). Pengaturan pembagian tersebut
diatur oleh pemerintah kerajaan.
b.
Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam Pada Masa
Pasca-kemerdekaan
Sebagaimana telah penulis singgung di atas bahwa sebagai
lembaga pendidikan tertua di Jawa pesantren telah berupaya memperbaharui sistem
pendidikannya. Pada masa ini telah muncul pesantren-pesantren yang berupaya
mengadaptasi perubahan sistem pendidikan konvensional. Sedikitnya terdapat dua
cara yang dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi
kurikulumnya dengan memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum.
Kedua, membuka kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan
pendidikan umum.
Dengan
kedua cara tersebut maka persentuhan antara sistem pesantren dengan sistem
madrasah sudah sangat terasa. Untuk itu, setidak-tidaknya pada masa ini muncul
empat tipe pondok pesantren di Nusantara:
1.
Ponpes tipe A adalah pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional;
2.
Ponpes tipe B adalah pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal
(madrasi);
3.
Ponpes tipe C adalah pondok yang hanya merupakan asrama, sedangkan santrinya
belajar di luar;
4.
Ponpes tipe D adalah pondok yang menyelenggarakan sistem ponpes sekaligus
sistem sekolah dan madrasah.
Namun dari segi manajemen pembiayaan belum muncul konsep
yang baru dari beberapa tipe pesantren yang muncul. Meski kemandirian telah
menjadi pola hidup pesantren, tetapi pada umumnya pembiyaan pesantren masih
bergantung pada usaha yang dilakukan oleh kyai dan sumbangan pihak luar.
Rata-rata pesantren tidak memiliki usaha yang dapat menjamin keberlangsungan
pesantren.
Hal
ini tentu bukan realitas yang menggembirakan, mengingat usaha yang dilakukan
kyai secara individu tidak berjalan selamanya. Di samping itu, pada dasarnya
setiap lembaga pendidikan membutuhkan penopang dana abadi demi memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pesantren di masa yang akan datang.
Hingga
muncul harapan baru dari beberapa pengasuh pesantren yang mencoba menggagas
alternatif sumber pendanaan lembaga pendidikannya. Di antaranya adalah
dilakukan oleh Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor, Pesantren Al Zaitun,
Pesantren Gontor dan lain-lain.
Sebagai
gambaran, penulis uraikan di sini salah satu gagasan dari konsep pembiayaan
berbasis wakaf yang ditawarkan oleh pesantren Gontor. Meniru apa yang dilakukan
oleh pengelola al-Azhar di Mesir dan Aligarh di India yang terjamin
kelangsungan lembaganya karena kekayaan wakaf yang di miliki, maka di pesantren
ini juga berupaya mengelola perekonomiannya dengan basis wakaf. Untuk itu,
pesantren ini memulai pewakafan pondok pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12
Oktober 1958. Pewakafan dilakukan oleh pendiri pesantren Gontor kepada Ikatan
Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang
dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian
dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.
Badan
Wakaf Gontor kemudian menjadi badan tertinggi yang membawahi beberapa lembaga
di pesantren tersebut. Demi menjaga dan mengembangkan harta wakaf yang dimiliki
maka Badan Wakaf Gontor membentuk Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf
Pondok Modern (YPPWPM) yang merupakan salah satu lembaga yang mempunyai
tanggung jawab besar dalam mengatur jalur perekonomian, khususnya berkaitan
dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf, sehingga dapat menjadi sumber dana
yang halal serta dapat menjamin kemandirian Pondok. Lembaga ini berada di bawah
kendali langsung badan tertinggi pondok, yaitu Badan Wakaf Pesantren Gontor.
c.
Pendidikan Islam dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional
Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang menuntut
penataan ulang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian melahirkan sistem
otonomi daerah. Otonomi Daerah memberi peluang pada lembaga-lembaga pendidikan
untuk lebih mandiri dengan tetap berharap bantuan pemerintah meski dalam era
ini pemerintah daerah dan pusat hanya berperan sebagai funding agency, pemicu
dana, untuk selanjutnya sekolah sendiri yang mengembangkannya.
Pada
era otonomi ini lahir pula UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. UU Sisdiknas baru
ini berusaha menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah termasuk dalam
perlakukan anggarannya. Dalam UU Sisdiknas 2003 ini pesantren juga dinyatakan
sebagai bagian dari subsistem pendidikan nasional.
Saat
lembaga pendidikan Islam telah mendapatkan bantuan pembiayaan yang cukup
signifikan dari pemerintah. Di samping itu, madrasah dan pesantren juga
didorong untuk mengelola pembiayaan pendidikannya berbasis madrasah dan
pesantren. Metode ini mencakup tiga kegiatan poko yang harus diupayakan oleh
para pengelola lembaga pendidikan Islam yaitu: perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi dan pertanggungjawaban.
Terkait
dengan sumber pendanaan, saat ini rata-rata anggaran lembaga pendidikan Islam
diperoleh dari:
1.
Bantuan
Pemerintah
Besarnya
bantuan keuangan dari pemerintah bervariasi untuk madrasah negeri dan swasta :
a.
untuk madrasah negeri berkisar antara 80–90 % dari anggaran sekolah;
b.
untuk madrasah swasta berkisar antara 15 – 40 %. Besar kecilnya bantuan pemerintah
dihitung secara seimbang dengan besar kecilnya pungutan sekolah dari orang tua
siswa. Semakin besar pungutan dari orang tua, maka berakibat semakin kecil
jumlah bantuan dari pemerintah.
2.
Uang
Madrasah
Iuran/bantuan
orang tua siswa yang besarnya bervariasi menurut jenis madrasah, keunggulan
madrasah dan besar kecilnya program madrasah tersebut :
-
untuk madrasah negeri antara 5 – 15 %;
-
untuk madrasah swasta 60 – 85 %
3.
Kegiatan
bazar madrasah, pameran dan lain lain
4.
Kerjasama
dengan perusahaan.
Kerja
sama dengan perusahaan-perusahaan terkenal dengan cara memasang iklan/poster
perusahaan pada madrasah atau dalam penerbitan madrasah. Upaya ini bisa
dilakukan oleh sebagian madrasah untuk membiayai program program unggulan dalam
meningkatkan kinerja dan out put madrasah. Apalagi saat ini persaingan cukup
ketat dalam penerimaan siswa berkaitan semakin selektifnya orang tua dalam
memilih sekolah untuk anak-anaknya. Hal ini tidak terlepas dari semakin kompleknya
jenis profesi dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja di samping
makin ketatnya persaingan masuk perguruan tinggi yang favorit. Walaupun dapat
mendatangkan dana yang besar, namun kerjasama dengan perusahaan ini masih
menimbulkan kontroversi, karena dapat berakibat buruk pada siswa maupun citra
madrasah, terutama iklan untuk produk rokok dan sejenisnya.
DAFTAR RUJUKAN
- Asrahah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
- Depdikbud, 2001, KBBI Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
- Departemen Agama RI, 2005, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru, Jakarta: Depag RI.
- ____________________, 2005, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah (Jakarta: Depag RI.
- ____________________, 2003, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Perkembangan dan Pertumbuhannya, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
- ____________________, 2005, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
- ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬____________________, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
- Hasan, M. Ali, et.al., 2003, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
- Madjid, Nurcholis, 1997, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina.
- Masyhud, Sulthon, et.al., 2003, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
- Nata, Abuddin, 2005, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.
- Nata, Abuddin, 2004, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
- Noer, Deliar, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
- Portal Departemen Agama RI, Grand Design Madrasah, www.depag.go.id., diakses pada 20 Nopermber 2008.
- Portal Informasi Pondok Modern Gontor, YPPWPM, , diakses pada 20 Nopermber 2008.
- Rahardjo, Dawam, (ed.), 1985, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
- _______________, (ed.), 1988, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES.
- Salam, Junus, 1968, K.H.A. Dahlan: Amal Dan Perdjoangannja, Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah.
- Saridjo, Marwan, et.al, 1982, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti.
- Shaleh, Abdul Rachman, 2004, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Supriyadi, Dedi, 1999, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: Remaja Rosda Karya.
- Sunarto, Nusyrifah, 2005, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
- Yunus, Mahmud, 1985, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung.
- Ziemek, Manfred, 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
- Zuhairini, et.al., 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI.