Senin, 20 Januari 2014

Manajemen Lembaga Pendidikan Islam

Sejarah Pembiayaan Pendidikan di Indonesia
Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator di mana ajaran Islam dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan inilah masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah.
a.    Manajemen Pendidikan Pembiayaan Islam Pada Masa Pra-kemerdekaan
Pendidikan agama semi formal pertama yang berlangsung di Indonesia adalah majlis ilmu yang berlansung di kerajaan samudera pasai. Sistem pendidikan agama yang berlasung di kerajaan ini adalah sebagai berikut:

1. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh Madzhab Syafi’i.
2. Sistem pendidikannya secara nonformal berupa majlis taklim dan halaqah.
3. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
4. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.

Jadi, pada masa kerajaan islam pasai ini, pendidikan agama dilangsungkan oleh kerajaan dan dibiayai oleh kerajaan itu sendiri.
Berawal dari aceh, pendidikan islam terus berkembang ke penjuru nusantara. Di jawa, diusung oleh sunan giri menitikberatkan kegiatannya pada bidang pendidikan. Dalam hal kurikulumnya ia mengadakan kontak dengan kerajaan pase yang bermadzhab syafi’i ketika surau-surau di sumatera terkikis oleh sekolah-sekolah islam, tidak demikin halnya dengan pesantren-pesantren di jawa. Meski gerakan pendidikan islam formal berlangsung deras, namun eksistensi pesantren sebagai pendidikan islam pertama di jawa tetap survive dan eksis.

Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Jawa. Munculnya pesantren sekitar abad ke-15 oleh para penyebar agama Islam di Jawa, di antaranya Wali songo. Sebagaimana halnya surau-surau di Sumatera, pesantren awalnya juga merupakan masjid yang menjadi tempat belajar para santri yang kemudian terintegrasi dengan asrama untuk penginapan para santri tersebut. untuk itu setiap pondok pesantren memiliki tiga unsur minimal:
1) Kyai yang mendidik dan mengajar;
2) Santri yang belajar; dan
3) Masjid.

Pesantren pertama di Jawa diperkirakan dibangun oleh Sunan Ampel di Surabaya. Pada tahun selajutnya pesantren telah meyebar ke penjuru tanah Jawa.

Sebelum abad ke-18, pembiayaan pesantren dari tingkat rendah hingga tinggi ditanggung oleh masyarakat Islam sendiri. Pembiayaan tersebut dipungut dari uang zakat, srakah (iuran waktu pernikahan), wakaf dan palagara (pembayaran sesuatu hajat dari penduduk desa). Pengaturan pembagian tersebut diatur oleh pemerintah kerajaan.


b.        Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam Pada Masa Pasca-kemerdekaan
Sebagaimana telah penulis singgung di atas bahwa sebagai lembaga pendidikan tertua di Jawa pesantren telah berupaya memperbaharui sistem pendidikannya. Pada masa ini telah muncul pesantren-pesantren yang berupaya mengadaptasi perubahan sistem pendidikan konvensional. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.

Dengan kedua cara tersebut maka persentuhan antara sistem pesantren dengan sistem madrasah sudah sangat terasa. Untuk itu, setidak-tidaknya pada masa ini muncul empat tipe pondok pesantren di Nusantara:
1. Ponpes tipe A adalah pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional;

2. Ponpes tipe B adalah pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasi);
3. Ponpes tipe C adalah pondok yang hanya merupakan asrama, sedangkan santrinya belajar di luar;
4. Ponpes tipe D adalah pondok yang menyelenggarakan sistem ponpes sekaligus sistem sekolah dan madrasah.

Namun dari segi manajemen pembiayaan belum muncul konsep yang baru dari beberapa tipe pesantren yang muncul. Meski kemandirian telah menjadi pola hidup pesantren, tetapi pada umumnya pembiyaan pesantren masih bergantung pada usaha yang dilakukan oleh kyai dan sumbangan pihak luar. Rata-rata pesantren tidak memiliki usaha yang dapat menjamin keberlangsungan pesantren.

Hal ini tentu bukan realitas yang menggembirakan, mengingat usaha yang dilakukan kyai secara individu tidak berjalan selamanya. Di samping itu, pada dasarnya setiap lembaga pendidikan membutuhkan penopang dana abadi demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan pesantren di masa yang akan datang.

Hingga muncul harapan baru dari beberapa pengasuh pesantren yang mencoba menggagas alternatif sumber pendanaan lembaga pendidikannya. Di antaranya adalah dilakukan oleh Pesantren Pertanian Darul Falah Bogor, Pesantren Al Zaitun, Pesantren Gontor dan lain-lain.

Sebagai gambaran, penulis uraikan di sini salah satu gagasan dari konsep pembiayaan berbasis wakaf yang ditawarkan oleh pesantren Gontor. Meniru apa yang dilakukan oleh pengelola al-Azhar di Mesir dan Aligarh di India yang terjamin kelangsungan lembaganya karena kekayaan wakaf yang di miliki, maka di pesantren ini juga berupaya mengelola perekonomiannya dengan basis wakaf. Untuk itu, pesantren ini memulai pewakafan pondok pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12 Oktober 1958. Pewakafan dilakukan oleh pendiri pesantren Gontor kepada Ikatan Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.

Badan Wakaf Gontor kemudian menjadi badan tertinggi yang membawahi beberapa lembaga di pesantren tersebut. Demi menjaga dan mengembangkan harta wakaf yang dimiliki maka Badan Wakaf Gontor membentuk Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) yang merupakan salah satu lembaga yang mempunyai tanggung jawab besar dalam mengatur jalur perekonomian, khususnya berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf, sehingga dapat menjadi sumber dana yang halal serta dapat menjamin kemandirian Pondok. Lembaga ini berada di bawah kendali langsung badan tertinggi pondok, yaitu Badan Wakaf Pesantren Gontor.

c.    Pendidikan Islam dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang menuntut penataan ulang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian melahirkan sistem otonomi daerah. Otonomi Daerah memberi peluang pada lembaga-lembaga pendidikan untuk lebih mandiri dengan tetap berharap bantuan pemerintah meski dalam era ini pemerintah daerah dan pusat hanya berperan sebagai funding agency, pemicu dana, untuk selanjutnya sekolah sendiri yang mengembangkannya.

Pada era otonomi ini lahir pula UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. UU Sisdiknas baru ini berusaha menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah termasuk dalam perlakukan anggarannya. Dalam UU Sisdiknas 2003 ini pesantren juga dinyatakan sebagai bagian dari subsistem pendidikan nasional.

Saat lembaga pendidikan Islam telah mendapatkan bantuan pembiayaan yang cukup signifikan dari pemerintah. Di samping itu, madrasah dan pesantren juga didorong untuk mengelola pembiayaan pendidikannya berbasis madrasah dan pesantren. Metode ini mencakup tiga kegiatan poko yang harus diupayakan oleh para pengelola lembaga pendidikan Islam yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban.
Terkait dengan sumber pendanaan, saat ini rata-rata anggaran lembaga pendidikan Islam diperoleh dari:

1.      Bantuan Pemerintah

Besarnya bantuan keuangan dari pemerintah bervariasi untuk madrasah negeri dan swasta :
a. untuk madrasah negeri berkisar antara 80–90 % dari anggaran sekolah;
b. untuk madrasah swasta berkisar antara 15 – 40 %. Besar kecilnya bantuan pemerintah dihitung secara seimbang dengan besar kecilnya pungutan sekolah dari orang tua siswa. Semakin besar pungutan dari orang tua, maka berakibat semakin kecil jumlah bantuan dari pemerintah.

2.      Uang Madrasah

Iuran/bantuan orang tua siswa yang besarnya bervariasi menurut jenis madrasah, keunggulan madrasah dan besar kecilnya program madrasah tersebut :
- untuk madrasah negeri antara 5 – 15 %;
- untuk madrasah swasta 60 – 85 %
3.      Kegiatan bazar madrasah, pameran dan lain lain
4.      Kerjasama dengan perusahaan.

Kerja sama dengan perusahaan-perusahaan terkenal dengan cara memasang iklan/poster perusahaan pada madrasah atau dalam penerbitan madrasah. Upaya ini bisa dilakukan oleh sebagian madrasah untuk membiayai program program unggulan dalam meningkatkan kinerja dan out put madrasah. Apalagi saat ini persaingan cukup ketat dalam penerimaan siswa berkaitan semakin selektifnya orang tua dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya. Hal ini tidak terlepas dari semakin kompleknya jenis profesi dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja di samping makin ketatnya persaingan masuk perguruan tinggi yang favorit. Walaupun dapat mendatangkan dana yang besar, namun kerjasama dengan perusahaan ini masih menimbulkan kontroversi, karena dapat berakibat buruk pada siswa maupun citra madrasah, terutama iklan untuk produk rokok dan sejenisnya.

DAFTAR RUJUKAN
  • Asrahah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
  • Depdikbud, 2001, KBBI Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
  • Departemen Agama RI, 2005, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional: Paradigma Baru, Jakarta: Depag RI.
  • ____________________, 2005, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah (Jakarta: Depag RI.
  • ____________________, 2003, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Perkembangan dan Pertumbuhannya, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
  • ____________________, 2005, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
  • ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬____________________, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
  • Hasan, M. Ali, et.al., 2003, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
  • Madjid, Nurcholis, 1997, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina.
  • Masyhud, Sulthon, et.al., 2003, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.
  • Nata, Abuddin, 2005, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.
  • Nata, Abuddin, 2004, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
  • Noer, Deliar, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
  • Portal Departemen Agama RI, Grand Design Madrasah, www.depag.go.id., diakses pada 20 Nopermber 2008.
  • Portal Informasi Pondok Modern Gontor, YPPWPM, , diakses pada 20 Nopermber 2008.
  • Rahardjo, Dawam, (ed.), 1985, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
  • _______________, (ed.), 1988, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES.
  • Salam, Junus, 1968, K.H.A. Dahlan: Amal Dan Perdjoangannja, Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah.
  • Saridjo, Marwan, et.al, 1982, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti.
  • Shaleh, Abdul Rachman, 2004, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Supriyadi, Dedi, 1999, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: Remaja Rosda Karya.
  • Sunarto, Nusyrifah, 2005, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
  • Yunus, Mahmud, 1985, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung.
  • Ziemek, Manfred, 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
  • Zuhairini, et.al., 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI.